Etiologi Canine Distemper
Penyakit distemper anjing disebabkan oleh Paramyxovirus yang berhubungan dekat dengan virus measles dan Rinderpest. Virus distemper memiliki amplop yang sensitif terhadap pelarut lipid dan sebagian besar desinfekstan. Bungkus lipoproteinnya yang mudah dihancurkan mengakibatkan virus distemper tak mudah menular. Virus ini bereplikasi di jaringan limfatik dan saluran respirasi hewan yang terinfeksi (Kahn 2005).
Epizootiologi Canine Distemper
Kasus distemper pada anjing telah menjadi enzootik di seluruh dunia. Hewan karnovira paling rentan terinfeksi oleh virus distemper. Famili Canidae (seperti anjing domestik maupun liar, dingo, rubah, coyote dan serigala), famili Procyonidae (kinkajou, coatimundi, rakun dan red panda), famili Mustelidae (cerpelai, musang, mink, sigung dan otter) merupakan kelompok hewan yang mudah terinfeksi CDV (Canine Distemper Virus). Namun, akhir-akhir ini dilaporkan bahwa beberapa jenis Felidae seperti singa, macan tutul dan harimau juga dapat terinfeksi oleh virus tersebut (Dharmojono 2001).
Canine Distemper Virus menyerang anjing di berbagai tingkat usia, namun anak anjing merupakan inang paling sensitif dari virus ini, terutama ketika antibodi maternal yang diperoleh dari induk sudah hilang. Anjing yang menderita distemper akut akan melepaskan virus melalui sekreta, dengan maupun tanpa gejala klinis yang terdeteksi. Sekreta yang keluar melalui sistem respirasi merupakan media transmisi virus yang paling sering terjadi (Dharmojono 2001).
Patogenesis Canine Distemper
Pelepasan virus dari tubuh inang dimulai pada hari ke-7 setelah infeksi terjadi. Virus yang berada di lingkungan luar akan segera mati jika tak menemukan inang baru. Sebagian besar anjing yang berhasil sembuh dari infeksi Canine Distemper akan kebal terhadap infeksi ulang selanjutnya, kecuali jika individu tersebut mengalami imunosupresi atau dipelihara dalam lingkungan yang buruk (Dharmojono 2001).
Penularan virus lewat udara (per inhalasi) menimbulkan infeksi dalam saluran pernapasan, kemudian virus menuju kelenjar pertahanan lokal. Pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah infeksi, temperatur tubuh akan meningkat dan interferon virus telah terdapat dalam sirkulasi darah. Pada minggu ke-2 dan ke-3 setelah infeksi, anjing akan membentuk kekebalan humoral maupun seluler untuk merespon infeksi. Anjing akan sembuh tanpa menunjukkan gejala klinis berarti jika sistem kekebalan tubuhnya mampu melawan infeksi virus (Dharmojono 2001).
Apabila hewan tak berhasil menangkal infeksi virus distemper, virus akan menyebar ke sel-sel epitel alat pencernaan, pernapasan dan urogenital hingga ke sistem syaraf pusat. Jika respon humoral atau respon seluler berjalan lambat, virus dapat hilang dari sel-sel epitel tubuh dan jaringan limfe. Namun, virus tetap berada dalam sistem syaraf pusat, mata dan teracak (Dharmojono 2001).
Gejala Klinis pada Kasus Canine Distemper
Gejala klinis yang tampak sangat beragam, baik durasinya maupun derajat keparahannya. Mortalitas yang terjadi pada hewan terinfeksi virus distemper mencapai 50%. Pada hari ke-3 hingga 6 setelah infeksi, terjadi pireksia intermiten yang disertai dengan eksudasi nasal dan okular yang pada awalnya bersifat serous, namun kemudian berubah menjadi mukopurulen. Tampak pula gejala depresi, anoreksia dan sejak awal infeksi terjadi limfopenia.
Gejala gastronitestinal dan respirasi timbul akibat infeksi sekunder oleh bakteri. Meskipun demikian, sekitar 50% dari anjing yang terinfeksi virus distemper akan memperlihatkan gejala subklinik. Jika infeksi virus mencapai sistem syaraf pusat pada bagian gray matter, akan timbul beberapa gejala gangguan syaraf seperti seizure, myoklonik, hiperesthesia dan depresi. Apabila infeksi melibatkan white matter dari syaraf pusat, akan tampak gejala ataksia, paralisis atau paresis serta tremor otot. Gejala-gejala meningeal dan kekakuan leher pun dapat terlihat pada infeksi jenis ini. Khusus pada anjing muda yang terinfeksi virus distemper dapat terlihat adanya hipoplasia gigi, sedangkan pada anjing tua dapat terjadi ensefalitis yang berakibat fatal.
Terapi dan Pencegahan Canine Distemper
Hingga saat ini belum terdapat obat yang dapat menanggulangi kasus distemper anjing, sehingga terapinya tidak spesifik. Pemberian antibiotika bertujuan untuk mengatasi infeksi sekunder oleh bakteri yang sering terjadi pada sistem respirasi dan digesti. Penderita distemper dapat mengalami diare parah, sehingga menyebabkan dehidrasi. Pada kasus seperti ini terapi cairan dan elektrolit harus diberikan. Nutrisi parenteral, antipiretika, preparat nasal dan analgesik juga dapat digunakan untuk membantu mengurangi gejala yang muncul.
Pada kasus distemper syaraf, pengobatannya makin sulit. Pemberian sedativa dan antikonvulsi dapat mengurangi gejala klinis yang muncul, namun tak dapat mengeliminasi agen penyebabnya. Anjing yang sudah terbukti mengalami distemper syaraf pada umumnya disarankan untuk dieuthanasi, terutama bila tampak adanya komplikasi-komplikasi lain. Terapi kortikosteroid jangka pendek (selam 1-3 hari) menunjukkan perbaikan, namun tak disarankan untuk menggunakan terapi kortikosteroid jangka panjang sehubungan dengan efek samping berupa imunosupresi. Pemberian antibodi monoklonal pada protein H (homoserum) dapat diberikan pada anjing yang menunjukkan gejala awal distemper (tahap inkubasi) (Dharmojono 2001).
Pencegahan terbaik untuk mengatasi penyakit ini adalah pemberian gizi yang seimbang, kontrol terhadap endoparasit dan ektoparasit serta vaksinasi teratur menurut jadwal dan prosedur yang tepat. Adapun jadwal vaksinasi terhadap distemper anjing adalah sebagai berikut ;
2. Annual booster vaccination (vaksinasi ulang tahunan) diperlukan karena setiap bulan antibodi yang terbentuk akan semakin berkurang.
3. Anak anjing yang tidak mendapat kolostrum induk tidak boleh divaksinasi dengan vaksin hidup sebelum berusia 4 minggu. Hal ini disebabkan vaksin hidup akan bersifat fatal bagi anak anjing yang tak memiliki perlindungan awal (Dharmojono 2001).
DAFTAR PUSTAKA
Dharmojono. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Veteriner Buku I. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Hlm 16-30.
Kahn CM. 2005. The Merck Veterinary Manual 9th Edition. USA : Merck & Co., Incorporation. Hlm 625-626.
No comments:
Post a Comment