Friday, May 29, 2009
The 13th Tale ~ a review
Beautiful. Sweet. Comfortable.
Adalah 3 kata pertama yang terpikir saat menikmati novel pertama Diane Setterfield. Meskipun mirip slogan produk furniture, tapi memang itulah yang terasa. Kata demi kata sepertinya memang khusus dirancang untuk menghasilkan pola sulaman yang indah di lembaran novel ini. Efek yang muncul saat membaca novel ini mirip dengan efek yang muncul saat makan marshmallow yang disiram cokelat dari “choco fountain”. Sambil minum caramel lite panas, dan meregangkan kaki. Pada sore hari yang hujan rintik-rintik.
Beautiful. Sweet. Comfortable.
Adalah 3 kata yang digunakan untuk menyelimuti misteri dan kengerian yang menjadi inti cerita ini. Apakah inti sebenarnya cerita ini?
Incest. Mental defect. Viciousness.
Diane Setterfield, sang Novelis yang jago menutupi kebusukan dengan keindahan kata-kata.
Jadi, dengan tema seperti itu dapat disimpulkan bahwa ini bukanlah novel untuk anak-anak.
Masalah utama yang dibahas dalam dongeng ini adalah kesedihan anak kembar yang terpisah dari kembarannya.
Agak sulit dimengerti oleh anak yang tidak kembar dan anak kembar yang hubungan batinnya tidak erat.
Incest dibahas di sini sebagai salah satu penyebab keterbelakangan mental pada si kembar Angelfield. Hmm..Hubungan incest di The 13th Tale punya bumbu lain sebagai penyedap.
Incest di sini disertai dengan masochism. Jadi, sekali lagi, Ibu-ibu..Novel ini bukan untuk anak-anak..
Agak sulit menyadari pesan moral yang ada di The 13th Tale.
Karena kita sibuk menjadi depresi, seperti Margaret Lea si penulis biografi, yang dikerjai oleh Vida Winter. Margaret diminta memecahkan sendiri teka-teki kehidupan Ms. Winter, sementara Vida Winter sendiri dengan perlahan tapi pasti beringsut perlahan menuju tidur abadi. Sayangnya. Adegan saat Margaret memahami semua jawaban teka-teki ini kurang dramatis.
Sehingga pembaca kurang dibuat terkesan dengan kenyataan yang ada di Angelfield House.
Hal ini membuat jawaban teka-teki Angelfield terlihat “dipaksakan”.
Sayang sekali.
Secara general, novel ini “matang”. Huruf demi huruf direncanakan dengan sempurna. Menghasilkan seni yang nyaris sempurna juga. Plot yang maju-mundur, dibarengi dengan cerita yang unik menjadikan The 13th Tale suatu mahakarya yang legendaris.
Yah, kecuali adegan itu.
Yang merusak ending yang sebenarnya telah direncanakan dengan matang.
Adegan saat Margaret berubah menjadi Sherlock Holmes.
Sayang sekali.
Tante Setterfield yang entah mengapa menurut gw mirip ama sosok Vida Winter.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment